Oleh : Dwi Hastutiningtyas
Hari pertama (Minggu, 29 Maret
2015)
Kami
berangkat dari SMK pukul 11.30 menuju Terminal Tingkir untuk berkumpul dengan
rombongan dari Tengaran menunggu jemputan dari dinas. Pukul 13.00 rombongan
dinas tiba di terminal dan kami pun mulai perjalanan menuju Desa Kepuhsari,
Manyaran.
Setelah
perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan kami sampai di Desa
Kepuhsari, Manyaran. Hmm.. Desa ini benar-benar memukau. Saat kami turun dari
bus, para warga langsung menyambut dengan antusias. Agenda selanjutnya adalah check in di homestay. Menginap di homestay
memberikan nuansa baru. Dibanding di hotel, serunya tinggal di homestay kita bisa lebih dekat dengan
penduduk dan juga kehidupan mereka. Apalagi penduduk desa ini ramah sekali,
siswa dan guru pasti betah tinggal disini.
Kami
berempat mendapat homestay yang berbeda, saya mendapat homestay milik Bapak
Eko. Rumah bambu sederhana bernuansa pedesaan yang sangat tradisional, dan rasa
kekeluargaan yang begitu erat membuat saya nyaman tinggal di homestay milik
Bapak Eko ini. Pukul 19.00 rombongan berkumpul di sekertariatan Kelompok Sadar
Wisata atau biasa disebut Pokdarwis untuk makan malam dan dilanjutkan
sarasehan. Materi yang diberikan seputar kampung wayang. Makanan yang
disuguhkan sangat beragam. Mulai dari pisang rebus, tahu asin, ketela rebus,
soto kwali dan lain-lain. Pukul 21.00 rombongan kembali ke homestay
masing-masing.
Hari kedua (Senin, 30 Maret 2015)
Pukul 18.30 setelah mandi, kami berkumpul di
sekretariatan untuk mengikuti kegiatan pelepasan dan perpisahan dengan warga
Desa Kepuhsari. Acara pertama adalah sambutan dari sesepuh desa yang kemudian
dilanjutkan dengan apresiasi seni murid. Hanya SMA 1 Ungaran saja yang
berkesempatan tampil, karena waktu yang tersisa tidak banyak. Acara selanjutnya
adalah pentas wayang. Yang membuat saya sangat terpukau adalah dalangnya. Tidak
seperti pentas wayang pada umumnya, dibalik pentas wayang yang sangat bagus
ternyata dalangnya masih berumur 11 tahun alias dalang cilik. Dalang cilik yang
kerap disapa “Dek Pandham” ini mampu membuat penonton terpesona oleh aksinya.
Yang lebih menarik lagi walaupun ia mendalang dari malam sampai pagi namun di
sekolah ia tetap bisa menjadi bintang kelas. Pukul 22.00 saya bersama Pak Eko
kembali menuju homestay untuk istirahat untuk melanjutkan perjalanan esok hari.
Hari ketiga (Selasa, 31 Maret 2015)
Yaah, memang berat meninggalkan desa ini. Dua hari merasakan
suasana Desa Kepuhsari membuat saya enggan untuk kembali menjalani aktifitas di
Kota Salatiga. Pukul 07.00 saya berpamitan dengan Bapak Eko dan Mbah Sarti,
berat meninggalkan mereka yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri.
Pukul 08.00 kami berangkat menuju Museum Karst, yang terletak di Desa
Gerbangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri. Museum ini merupakan
salah satu sarana konservasi keberadaan karst yang ada di Indonesia. Kawasan
Kast memiliki ciri khas berupa gua-gua berstalaktit dan stalakmit dengan nilai
alami yang menarik. Setelah puas berputar-putar museum bersama guide, saya
bersama rombongan melanjutkan perjalanan menuju Museum Sangiran. Pukul 15.00
kami sampai di Museum Sangiran. Museum ini berisi 65% fosil hominid purba di
Indonesia dan 50% di seluruh dunia. Sebagai warisan budaya dunia, Museum
Sangiran dilengkapi dengan ruang pameran yang sangat menarik baik berupa
display koleksi fosil maupun diorama kehidupan manusia purba. Tak terasa tiga
hari sudah rombongan kami berpetualang. Kenangan akan perjalanan ini menjadi
memori tersendiri di hati. Desa Wayang memang mengesankan, menggores kenangan.