Rabu, 16 Maret 2016



Sebelum Malam, Sebelum Senja Datang
Sebelum Malam, Sebelum Kau Hilang

Judul Drama                 : Sebelum Malam
Penulis naskah             : Abdiana Ihsan
Sutradara                     : Diah Rosita
Pimpro                         : Ratih Kusuma Devi
Kostum dan Make up  : Balqis Fajria Sya’bani
Penata Lampu               : Aan Aprilian Prasetyo
Penata Musik               : Abdul Harits, Abdul Wahab, Ahmad Kamal Annajihin
Aktor                           : Nur Aini
  Dwi Wulandari
  Nita Anggraini
  Devi Puji Lestari


Drama, sebuah karya sastra yang menggambarkan realita kehidupan, watak, serta tingkah laku manusia melalui peran dan dialog yang dipentaskan. Kisah dalam karya sastra ini memuat konflik dan emosi yang secara khusus ditujukan untuk pementasan teater. Drama merupakan salah satu karya sastra yang amat populer hingga sekarang, bahkan di zaman ini telah terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang drama.
Bangsa kita sudah mengenal drama sejak jaman dulu. Keberadaannya ditandai dengan adanya kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh para pemuka agama dan diikuti oleh masyarakat sekitarnya. Berdasarkan cara-cara melakukan upacara keagamaan itu lahirlah tontonan drama, yang kemudian berkembang sesuai dengan selera masyarakat dan perkembangan zaman. Berdasarkan kurun waktunya, perkembangan drama di Indonesia dikelompokkan menjadi drama/teater tradisional, drama/teater transisi dan drama/teater modern.
 “Selayaknya hari, kita pasti akan bertemu dengan waktu yang bernama sebelum malam. Sinar terbit, sebelum malam. Angin kencang bertabur, sebelum malam. Sebelum malam, bersiaplah. Sebelum malam, berdoalah...”
Sebelum Malam adalah sebuah maha karya yang dipentaskan oleh Teater Hampa, Universitas Negeri Malang. Drama ini bercerita tentang kehidupan keluarga sederhana di sebuah kampung yang terdiri atas seorang ibu dan tiga orang anak perempuannya, yang masing-masing memiliki karakter berbeda. Para pemain, Dwi Wulandari (Ibu), Nur Aini (Dewi), Nita Anggraini (Triska), Devi Puji Lestari (Eka) mampu berperan apik menyajikan sebuah kisah fiktif yang menjadi nyata. Drama sederhana ini mengajak penonton untuk masuk ke dalam cerita dan ikut berperan di dalamnya.
Dikemas dengan menggunakan alur regresif, karya sastra ini berkisah tentang seorang ibu yang sangat menyayangi ketiga anaknya. Ia sering menghayal bahwa kedua anaknya Dewi (Nur Aini) dan Eka (Devi Puji Lestari)  masih hidup bersamanya. Padahal anak sulungnya Eka telah tiada serta Dewi sudah lama pergi dari rumah dan tidak ada kabar. Yang tersisa hanya anak bungsunya Triska (Nita Anggraini) yang baru pulang dari tanah rantauan.
Dimulai dari kehadiran sosok Dewi (Nur Aini) anak tengah Ibu Dwi yang selalu dengki dengan kakak dan adiknya. Hal tersebut membuat suasana gubuk sederhana miliknya menjadi tambah runyam. Ditambah lagi dengan banyaknya percecokan antara Dewi  dengan adik sulungnya Triska.
Konflik dimulai ketika Ibu Dwi menanyakan kepada Triska tentang cita-citanya kelak. Seketika itu Dewi muncul dari arah dalam dan langsung menyerobot lukisan yang dibuat oleh Triska. Ibu Dwi yang melihatnya mencoba memperingatkan Dewi, namun tak ada lirikan sedikitpun, ia justru memaki Triska. Perdebatan pun terjadi. Triska yang lelah dengan sikap Dewi memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Ibu Dwi menasehati Dewi, ia bahkan telah membuatkan dua buah anyaman tikar supaya Dewi senang dan kelak dapat digunakan ketika anak dari Eka dan Dewi lahir. Dengan rasa amarahnya, ia menolak niatan baik Ibu Dwi.
            Selang beberapa menit Eka, anak sulung Ibu Dwi datang dari rumahnya. Namun ketika Eka memberi salam kepada Dewi, ia tak membalasnya. Bahkan untuk sekedar melihatnya pun tidak. Saat itu juga Triska dan Ibu Dwi datang menyambut kedatangan Eka dan kandungannya yang hampir menginjak usia 9 bulan. Ketika Ibu Dwi dan Triska sedang berbincang-bincang dengan Eka, Dewi menyela pembicaraan mereka dengan melontarkan sindiran-sindiran kasar. Disitulah klimaks cerita, Eka yang merasa tidak enak dengan Dewi kemudian mengejarnya. Naas, ketika Eka ingin meminta maaf Dewi tiba-tiba mendorongnya hingga terbentur sangat kencang. Benturan itu mengakibatkan pendarahan hebat dan akhirnya nyawa Eka tidak dapat tertolong lagi. Dewi yang merasa bersalah memutuskan pergi dari rumah dan tanpa kabar.
            Drama yang pentaskan oleh Teater Hampa ini mampu membuat emosi penonton meluap. Meski memiliki cerita yang cukup serius dan melankolis, namun cerita ini dapat dengan gampang dipahami oleh penonton dengan gaya bahasa yang sederhana. Abdiana Ihsan, mampu dengan singkat menyajikan naskah yang layak untuk ditampilkan dan dinikmati oleh pecinta drama.
            Tapi ada hal yang menjadi sorotan penting, drama bersutradara Diah Rosita ini memiliki kekurangan-kekurangan di dalamnya. Salah satunya dari tata panggung yang kurang menarik untuk dilihat, penonton hanya disuguhi oleh panggung yang sederhana dan terkesan ala kadarnya. Dari segi pencahayaan pun kurang, lampu pementasan sangat minim sehingga tidak terlalu jelas.
            Properti yang digunakan tidak bervariasi, begitu juga dengan kostum dan make up pemain. Musik yang digunakan dalam pementasan drama tersebut juga kurang nyaman untuk didengar, karena sering tidak tepat dengan adegan. Namun kendati demikian, pemain dapat menjiwai peran dengan baik meski dengan properti yang sederhana. Penonton juga masih dapat menikmati drama singkat ini dengan antusias.
      Saran untuk drama Sebelum Malam ini sebaiknya dapat mengembangkan cerita singkatnya sehingga menjadi sebuah drama yang luar biasa. Tak lupa properti yang mendukung jalanya cerita dan juga make up serta kostum yang lebih bervariasi dibutuhkan untuk menambah nilai seni dalam drama. Tapi pada akhirnya tetap saja karena dibungkus dengan rapi, drama ini tetap terlihat bagus untuk ditonton. Banyak yang dapat diambil dari kisah ini. Tentu tergantung siapa yang menontonya dan bagaimana dia melihat drama tersebut.

 Kab. Semarang, 24 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar